-
Portal Berita
PT Tatacipta Teknologi Indonesia
Hal yang Perlu Dipersiapkan saat Mengimplementasikan Smart City
eGoverment 2021-04-30 15:12:07NARA-TI
Apa kesamaan antara smartphone, smart TV, dan smart city? Ketiga frasa tersebut memiliki awalan kata yang sama: smart. Pada era digital ini, kata smart sering ditempelkan pada barang apapun yang kurang lebih memiliki kecanggihan standar era revolusi industri 4.0. Contohnya seperti smartwatch, smart fridge, smart speaker, dan lain-lain. Namun bagaimana dengan Smart City?
Sering terjadi miskonsepsi di masyarakat bahwa kota yang cerdas adalah kota yang gemerlap akan teknologi yang canggih dan memiliki banyak aplikasi multi-fungsi. Meskipun persepsi tersebut tidak sepenuhnya salah, penting untuk digaris bawahi bahwa Smart City tidak melulu tentang aplikasi dan infrastruktur teknologi informasi. Elemen penting yang tak boleh dilupakan dalam sebuah kota adalah bisnis, pemerintah, dan unsur manusia. Maka sebelum kita mendalami lebih lanjut, ada baiknya kita mulai dari hal yang paling fundamental: definisi.
Apa itu Smart City?
Menurut the British Standards, Smart City adalah integrasi yang efektif antara sistem fisik, digital, dan manusia dalam suatu lingkungan untuk memberi masa depan yang berkelanjutan, kemakmuran, dan inklusivitas untuk masyarakatnya. Dalam kalimat yang lebih sederhana, sebuah kota dapat dikatakan cerdas apabila kota tersebut berhasil mengintegrasikan teknologi informasi, benda-benda fisik (contohnya jembatan, perairan, pengolahan sampah), dan manusia agar agar kehidupan masyarakat menjadi makmur.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah merumuskan model indikator Smart City yang telah disesuaikan dengan kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Dalam model Smart City, Kominfo menyebut bahwa ada 6 (enam) indikator Smart City.
Smart Governance
Tidak akan ada kota cerdas tanpa pemerintahan yang cerdas pula. Pemerintahan yang cerdas adalah pemerintahan yang dapat beradaptasi dengan kemajuan teknologi untuk mempercepat perkembangan sosial. Agar suatu pemerintahan dapat dikatakan cerdas, maka pemerintahan tersebut harus memiliki tiga hal, yaitu: layanan publik yang bagus, birokrasi yang baik, dan kebijakan publik yang tepat sasaran.
Yang menjadi salah satu fokus pertanyaan pada indikator ini adalah: apa teknologi dan inovasi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas layanan publik?
Sistem pelayanan publik yang baik adalah sistem pemerintahan yang transparan, anti-korupsi, efisien, aman, dan up to date (dapat mengikuti perkembangan teknologi). Perpres 95/2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) mendorong setiap lapisan pemerintah untuk segera meninggalkan sistem pelayanan kuno yang paper-based menuju hibrid, dengan tujuan akhir menjadi pelayanan yang sepenuhnya digital.
Sistem pemerintahan yang cerdas akan memulai efek rantai yang berujung pada pengembangan kota cerdas. Pasalnya, sistem pemerintahan yang cerdas akan meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Dan kepercayaan masyarakat akan menjadi pelumas yang memudahkan pemerintah mengajak masyarakat untuk bergerak bersama membangun Smart City. Karena pada dasarnya, membangun kota yang cerdas memerlukan kontribusi dari masyarakat secara holistik, dan kontribusi masyarakat tidak akan ada bilamana masyarakat tidak mempercayai pemerintahnya.
Smart Branding
Smart Branding merupakan salah satu pilar kota cerdas. Pada dasarnya setiap kota memiliki ciri khas masing-masing. Kota yang cerdas dapat dengan baik memanfaatkan ciri khasnya untuk meningkatkan daya saing kota di industri kreatif, pangan maupun pariwisata.
Setiap kota ataupun kabupaten memiliki julukan yang berakar dari ciri khas kota atau kabupaten tersebut. Sebagai contoh, Jombang dijuluki Kota Santri, Malang Kota Bunga, Jogja Kota Budaya, dan lain-lain. Julukan kota dapat dijadikan tema untuk pembangunan gedung, pagar, gapura, trotoar, dan ornamen-ornamen penghias kota lainnya.
Julukan kota sangat penting karena juga dapat dijadikan acuan untuk pengembangan sektor pariwasata, industri kreatif dan industri pangan. Sebagai contoh, Yogyakarta adalah kota budaya. Maka Jalan Malioboro dijadikan tempat pariwisata yang diisi dengan orang jualan produk khas (batik, blangkon, gerabah) dan makanan khas (gudeg, bakpia pathok, yangko). Dengan demikian, industri kreatif dan pangan dapat terus berkembang dan berkontribusi memakmurkan kota Yogyakarta.
Smart Economy
Smart Economy berfokus pada perputaran uang di suatu kota atau kabupaten. Terdapat tiga dimensi dalam indikator ini, yang pertama adalah industri hulu-hilir. Untuk menggambarkan pentingnya industri hulu-hilir, kami ingin menceritakan pengalaman riset kami saat mendampingi suatu kota merencanakan Smart City. Di suatu daerah terdapat seorang peternak sapi yang mengeluh karena tidak adanya industri hulu ke hilir, memaksanya untuk mengirim hasil ternaknya ke luar daerah untuk diolah dan didistribusikan. Ketika daging olahan tersebut masuk kembali ke daerahnya, harganya menjadi jauh lebih mahal daripada harga sapi itu sendiri. Inilah pentingnya suatu kota memiliki industri hulu ke hilir-- agar perputaran rupiah di suatu daerah dapat dioptimalkan. Maka solusi untuk kasus tersebut adalah: daerah tersebut perlu membangun pemotongan, pengolahan, pengemasan, sampai distribusi dalam produk yang bervariasi seperti abon, kornet, ataupun daging mentah siap jual.
Dimensi yang kedua adalah welfare (ekonomi keluarga). Kota yang cerdas harus mampu menjaga kemakmuran, kesehatan, dan kebahagiaan masyarakatnya. Hal ini dapat dicapai dengan cara mengadakan program-program sosial seperti realisasi BPJS, pembagian Kartu Indonesia Pintar (KIP), atau bantuan UMKM.
Dimensi yang ketiga dari Smart Economy adalah Less Cash (pengurangan penggunaan uang tunai) dan akses modal. Mengurangi uang tunai bukan berarti mengurangi perputaran rupiah-- melainkan meningkatkan literasi masyarakat terhadap dompet digital. Selain itu, akses modal ke perbankan untuk masyarakat perlu dipermudah agar semakin banyak masyarakat mendirikan usaha, yang ujungnya akan membantu mempercepat perputaran roda ekonomi.
Smart Living
Pernahkah Anda tinggal di suatu daerah dimana Anda merasa tidak perlu berjalan lama untuk mendapatkan barang atau jasa untuk keperluan sehari-hari? Misal Anda mau beli daging, ada pasar dekat; mau beli obat, ada apotek dekat; mau cari tempat hiburan, ada taman kota dekat. Dan kalaupun Anda perlu jauh, perjalanan ditempuh dalam waktu yang singkat. Jika iya, maka itu merupakan indikasi tata kota yang nyaman dan kota yang memiliki mobilitas dan logistik yang baik.
Smart Society
Apabila kota diibaratkan sebagai manusia, maka infrastruktur kota adalah raga dan masyarakat adalah jiwanya. Layaknya seorang manusia, kota harus sehat secara jasmani (raga) dan rohani (jiwa). Apa indikasi bahwa suatu kota memiliki jiwa yang sehat?
Suatu kota memiliki jiwa yang sehat apabila masyarakatnya berpendidikan, peduli lingkungan, kolaboratif, kohesif, dan dinamis. Misalnya, ketika ada bencana alam di suatu daerah, masyarakat dapat berkolaborasi mengumpulkan dana bantuan sosial, membagikan sembako, dan menyediakan tempat pengungsian. Atau contoh yang lebih sederhana: masyarakat yang sadar akan pentingnya menghemat energi.
Smart Environment
Kota yang cerdas itu kota yang perkembangannya beriringan dengan pelestarian lingkungan. Pengolahan sampah, pengolahan air, pendayagunaan energi alternatif yang ramah lingkungan merupakan ketiga dimensi dari Smart Environment. Akan semakin baik lagi apabila dimensi-dimensi digandengkan dengan Internet of Things (IoT).
IoT dapat memberi suatu kota kemampuan untuk Sensing, Understanding, Responding, dan Anticipating. Misalnya, suatu kota memasang sensor yang dapat mendeteksi tingkat polusi di udara. Jadi ketika tingkat polusi sedang naik-naiknya, sensor akan memberi indikasi agar masyarakat menggunakan masker.
Setelah mengetahui enam indikator yang telah dicetuskan Kominfo, rasanya berat sekali untuk mewujudkan Smart City. Memang cakupan Smart City amatlah luas -- tak bisa diselesaikan dalam kurun waktu satu atau bahkan lima tahun saja. Mewujudkan kota cerdas yang memenuhi semua kriteria dari Kominfo memerlukan perencanaan berkelanjutan yang matang untuk puluhan tahun ke depan.
Menurut kami, kunci dari realisasi Smart City adalah kolaborasi antara semua pemangku kepentingan kota yang secara garis besar adalah pemerintah daerah, pihak swasta, dan masyarakat. Tidak mungkin terwujud suatu kota yang pintar apabila salah satu dari tiga stakeholder menolak untuk bekerjasama.
Cakupan Smart City sangat luas. Itulah mengapa kami menyarankan untuk mendekomposisi mega proyek ini menjadi unit proyek-proyek yang kecil dengan mengokohkan Smart Governance sebagai langkah pertama. Seperti yang telah dijelaskan di atas, pemerintahan yang cerdas akan menumbuhkan kepercayaan pada masyarakat. Kepercayaan ini akan menjadi bahan bakar untuk masyarakat agar mudah berkolaborasi.
Saat ini pemerintah daerah di seluruh Indonesia sedang dalam proses menyusun Arsitektur Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE). Arsitektur SPBE ini berfungsi sebagai blueprint pengembangan SPBE, sehingga diperlukan sumber daya manusia yang ahli dalam bidang SPBE. Saat ini terdapat beberapa perusahaan konsultan IT yang menyediakan jasa konsultasi dan pendampingan pembuatan arsitektur SPBE. Salah satu perusahaan yang dapat kini sudah dipercaya puluhan Pemda untuk jasa konsultasi SPBE adalah PT Tatacipta Teknologi Indonesia (TATI).
Referensi:
https://www.youtube.com/watch?v=84AomhEk6Ww&t=597s
https://youngster.id/news/kolaborasi-stakeholder-percepat-terwujud-smart-city/
https://www.softwareseni.co.id/blog/5-ide-smart-city-di-indonesia
https://aptika.kominfo.go.id/2020/10/mengenal-lebih-dekat-konsep-smart-city-dalam-pembangunan-kota/
https://youngster.id/news/kolaborasi-stakeholder-percepat-terwujud-smart-city/